Nilai Seratus dari Hati

Pagi itu, sekolah tampak seperti biasa—ramai, riuh, dan penuh cerita. Namun bagi Rafi, hari itu terasa berat. Ia baru saja mendapat nilai 45 untuk ujian matematika. Ia tahu ayahnya akan kecewa lagi.

“Kenapa kamu gak bisa kayak Dinda? Dia selalu dapat seratus,” kata ayahnya semalam dengan nada yang membuat Rafi terdiam.

Di kelas, Bu Mira, guru matematika yang terkenal sabar, menghampirinya.
“Nilaimu memang belum bagus, Raf. Tapi aku lihat kamu berusaha keras. Coba ceritakan, bagian mana yang paling sulit?”

Rafi menunduk. “Semuanya, Bu… Kadang aku belajar, tapi angka-angka itu seperti menertawakan aku.”

Bu Mira tersenyum lembut. “Kalau begitu, kita buat angka-angka itu jadi temanmu. Nanti sepulang sekolah, ikut bimbingan gratis di ruang guru, ya.”

Sejak hari itu, setiap sore Rafi datang. Kadang ia lelah, kadang ingin menyerah, tapi Bu Mira selalu sabar. Hingga suatu hari, saat ujian akhir tiba, Rafi memegang pensilnya dengan yakin.

Seminggu kemudian, pengumuman nilai keluar. Rafi menatap lembar jawabannya—100. Tapi kali ini, yang membuatnya menangis bukan angka itu, melainkan tulisan kecil di bawahnya:

“Kamu akhirnya percaya pada dirimu sendiri. Itu nilai seratus yang sebenarnya.”