Este es una web oficial del Gobierno de la República Dominicana Así es como puedes saberlo

Foro

Pagi yang Terasa Ko…
 
Avisos
Vaciar todo

Pagi yang Terasa Kopi Hitam


(@rendangsapi1212)
Active Member
Registrado: hace 2 horas
Respuestas: 2
Topic starter  

Di sebuah kedai kopi kecil yang terletak di sudut jalan yang tak pernah sepi, ada seorang barista bernama Dito. Setiap pagi, Dito selalu membuka pintu kedai dengan senyuman hangat, meski di balik matanya terlukis kelelahan. Dia tak pernah berkata banyak, hanya menyapa dengan sapaan singkat, «Selamat pagi, kopi hitam atau latte?»

Namun, ada sesuatu yang istimewa dari secangkir kopi hitam buatannya. Kopi itu bukan hanya minuman; ia seperti pembuka percakapan bagi orang-orang yang datang. Setiap orang yang meminumnya seolah menemukan sepotong cerita mereka yang hilang.

Pagi itu, seperti biasanya, seorang wanita paruh baya memasuki kedai. Namanya Lira, dan dia datang setiap pagi, duduk di meja pojok, dan memesan kopi hitam tanpa gula. Pagi ini, Lira tampak berbeda. Wajahnya sedikit lebih cerah, senyum di bibirnya seakan mengisyaratkan sebuah perubahan besar.

Dito, yang sedang menyeduh kopi, memperhatikan dari balik mesin espresso.

«Selalu kopi hitam, ya?» tanya Dito sambil menyajikan secangkir kopi di meja Lira.

Lira tersenyum, tapi kali ini senyumannya lebih lepas, «Kopi hitam ini… selalu mengingatkanku pada sesuatu.»

Dito duduk di kursi depan Lira, penasaran. «Apa itu?»

Lira menatap cangkir kopi yang masih mengepul. «Dulu, aku selalu menghindari hal-hal yang pahit. Aku takut rasanya tak enak, takut tak bisa menikmatinya. Tapi seiring waktu, aku belajar bahwa rasa pahit itu adalah bagian dari hidup. Seperti kopi hitam ini, yang rasanya tak langsung manis, tapi ketika kamu bisa menikmatinya, itu bisa memberi kehangatan yang luar biasa.»

Dito terdiam sejenak. Kata-kata Lira menembus ke dalam dirinya. Dia tidak menyangka bahwa secangkir kopi hitam bisa menjadi cermin bagi seseorang. Kopi memang tak pernah mengenal kompromi—ia adalah kejujuran dalam bentuk rasa. Tak ada yang bisa memanipulasinya.

«Jadi, kopi ini mengajarkanmu untuk lebih menerima hidup, ya?» tanya Dito lagi, kali ini dengan suara lebih rendah.

Lira mengangguk, «Betul. Dan seiring berjalannya waktu, aku menyadari satu hal—setiap pahit itu akan ada manisnya. Seperti hidup, seperti kopi. Jika kita berani menikmati setiap teguknya, kita akan merasakan kedalaman yang tak pernah kita sangka.»

Dito mengamati cangkir kopi yang kini kosong. «Aku rasa, aku juga mulai mengerti.»

Hari itu, kedai kopi terasa lebih hangat dari biasanya. Seiring berjalannya waktu, Lira semakin sering datang, bukan hanya untuk kopi, tetapi untuk berbagi cerita. Mereka berdua belajar bahwa secangkir kopi hitam bukan hanya soal rasa, tapi tentang berani menghadapi pahitnya hidup dengan penuh penerimaan.

Dan pada suatu pagi yang cerah, Dito memutuskan untuk mencoba sesuatu baru. Dia menyajikan kopi hitam dengan senyum yang lebih lebar, sebuah simbol bahwa hidup ini memang penuh dengan rasa yang tak selalu manis, namun selalu penuh makna. Kopi hitam, yang dulu dianggap sebagai simbol kepahitan, kini menjadi simbol kedalaman jiwa—seperti pagi yang tak pernah sama, namun selalu menghadirkan harapan baru.


   
Citar
Compartir:

Scroll al inicio